14 Desember 2007

kisah indayati, kisah korban traffiking

Malang benar nasib indayati. Setiap hari dia disiksa sama petruk, suaminya. Terakhir, tangan suaminya mendarat keras di wajahnya. Karena nggak kuat disiksa terus, ia beranikan diri kabur dari rumah, dengan membawa anak semata wayangnya, Eka.

Tapi ia bingung, ia nggak bawa uang sepeserpun. mau ke rumah orang tuanya, itu nggak mungkin. Mau kembali lagi? ia tak berani. Akhirnya ia pergi ke rumah adik ibunya, di Semarang.
Untung bagi Indayati, karena kalaulah ia terlambat sehari, pamannya sudah nggak ada, karena pindah ke Manado, karena ia bekerja di perusahaan tambang Amerika, New Monkey (Newmount?). Tanpa disangka ia ditawari ikut ke sana. Dan pergilah ia.

Singkat cerita tinggalah mereka di Manado. Sewaktu habis mengantarkan sepupunya sekolah, ia iseng melihat kerumunan orang. Katanya sih ada audisi film, yang bakal syuting di Bangkok. Tapi Indayati bukan tipe ibu-ibu jaman sekarang yang mengidolakan anaknya -atau bahkan dirinya- menjadi artis, jadi ia nggak tertarik ikutan audisi itu. namun sang Kiky dan Bunda, yang sedang mencari calon artis itu tertarik pada Indayati. Kata Bunda, seorang wadam alias waria alias wanita tanpa vagina, Indayati memiliki wajah asli nusantara, yang ia sebut Waca Waka, wanita cantik wajah kampung.

Walaupun ia menolak, tapi sepupunya sangat antusias. Ia ingin jadi artis terkenal. Begitu juga dengan Buk lik, yang kepengen anaknya terkenal. Maka walaupun sang ayah nggak mengijinkan, dia, sepupu Indayati, nekad pergi ke Bangkok.

Indayati, yang merasa bersalah, berniat membawa pulang sepupunya itu. Namun nahas, ia malah dipaksa ikut ke Bangkok. Dan, jadilah mereka korban traffiking, manusia yang tidak diakui kemanusiaannya...
....

Itulah sepenggal ringkasan kisah Indayati, novel terbaru Remy Silado (yang baru saya baca) yang berjudul Mimi lan Mintuna. Ia, Indayati dan sepupunya merupakan contoh wanita korban traffiking, yang berkedok audisi bin[a]tang film.

Di novel ini kita bisa lihat bagaimana penderitaan mereka, korban traffiking. Mereka hanya dinilai sebagai barang (Sean PV dkk menyebut mereka 'stok'), tak lebih. Manusia yang diperjualbelikan, tanpa mendapatkan uang sepeserpun dari hasil penjualannya itu (katanya sih untuk biaya paspor, administrasi dll).

Cerita selanjutnya? Baca saja sendiri ah..

Oh iya, baru kali ini saya bisa baca buku dan langsung tamat. Memang sih, bukunya tidak setebal buku Klakulkus 1 karangan Purcell, hanya setebal buku analisis real karangannya Bartle (yang aslinya, bukan yang versi dunia baru). Tapi lumayan, ternyata saya masih bisa tahan baca buku lebih dari 2 jam. alhamdulillah...

Tidak ada komentar: