15 November 2007

Selamat Jalan, Teman

Bandung, 29 oktober 2007. Sore itu Bandung diguyur hujan sangat lebat, dan lama. Sebagian jalan tergenang air cileuncang yang tak tertampung solokan yang memang kecil dan mampet oleh sampah.
Juga sungai-sungai, yang meluap sampai batas jalan. Bandung kebanjiran lagi. Padahal hujan belum terlalu lama turun di Bandung.
Tapi hujan sore itu memang terasa sangat besar. Saya sampai harus cari jalan yang benar-benar tidak tergenang. Tapi tetap saja saya sempat disergap cileuncang. Yang pertama di daerah stasiun. Di sana sebagian jalan sudah tergenang. Untung motor saya masih mampu menembus genangan itu tanpa banyak masalah. Yang kedua di perempatan jalan Astanaanyar dan Ciateul (saya lupa lagi nama jalannya). Air di tengah jalan sangat deras. Biasanya di perempatan itu saya belok ke jalan otista, menuju Tegallega. Tapi sore itu tidak, karena saya mau ke Leuwi Panjang, mau jemput teteh yang baru pulang dari Bogor.
Ternyata saya salah pilih jalan. saya pilih lewat Jalan kopo untuk sampai ke Leuwi Panjang. Pperempatan jalan Peta ternyata tergenang cukup dalam. Penduduk di sekitar sana menyuruh saya balik lagi. Katanya jalan itu sudah nggak bisa lagi dilalui kendaraan, apalagi motor. Bisa-bisa motor saya bisa mogok kalau keukeuh mau lewat sana. Akhirnya saya lewat jalan kecil, jalan Nyengseret, yang tembus ke Tegallega. Tapi sama saja, karena jalan Astanaanyar juga ternyata digenangi cileuncang, walau tak sedalam di perempatan kopo-Peta.
Akhirnya saya bisa sampai juga ke Leuwi Panjang. Di sini sama saja. Karena perempatan Jalan Soekarno Hatta juga terendam banjir cukup dalam. Sampai-sampai saya harus dorong motor saya karena takut motor saya mogok di sana. Untung saja hanya bagian pinggir saja yang tergenang cukup dalam, di bagian tengah ternyata nggak terlalu dalam. Akhirnya saya dan teteh bisa pulang, walau jalannya harus lewat Buahbatu, karena jalan Palasari-Dayeuh kolot sudah pasti tenggelam.
****
Malam itu dia hendak pulang. Dia baru memberikan les bagi muridnya di daerah Kopo. Walaupun hujan turun deras, dia tetap ingin pulang. Di jalan Kopo ia hendak naik angkot bersama calon suaminya. Tapi ini hujan sangat deras, sehingga air solokan meluber sampai ke badan jalan. Akibatnya tak ada angkot yang lewat ke sana. Karena ingin segera sampai rumah, ia jalan di atas trotoar yang banyak lubangnya bersama pacarnya, sambil berharap ada angkot yang lewat. Pada siang hari, gorong-gorong di daerah sana sedang diperbaiki, namun belum selesai, akibatnya, beberapa trotoar masih berlubang.
Karena kurang hati-hati, perempuan itu terpeleset dan jatuh ke lubang gorong-gorong. Lama ia terjebak di gorong-gorong itu. Pacarnya dan beberapa warga di sekitar berusaha mengeluarkan perempuan itu dari gorong-gorong yang airnya sangat deras. Namun beton penutup gorong-gorong itu sangat sulit di buka. “Nggak ada peralatan yang memadai,” kata saudaranya. Akhirnya dengan susah payah tubuh perempuan itu berhasil juga diangkat. Tapi ia pingsan dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Maka dengan menumpang sepeda motor yang kebetulan lewat, segera saja perempuan itu dibawa ke rumah sakit Immanuel, yang letaknya tak jauh dari sana.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Malam itu, di rumah sakit, dia menghembuskan nafas terakhir. “Air yang masuk ke tubuhnya terlalu banyak, dan kotor,” kata saudaranya. Jalanan yang macet dan banjir juga dituding menjadi salah satu biang penyebab nyawanya tak tertolong.
Kalau saja jalanan tidak macet dan banjir...
Kalau saja ia tak terlambat masuk rumah sakit....
Kalau saja ia tak terpeleset di trotoar..
Kalau saja trotoar itu sudah selesai diperbaiki sebelum hujan turun...
Kalau saja...
...

****
Selasa, 30 Oktober. Hari itu saya nggak pergi ke kampus. Pusing. Juga pegel. Maklum, malam kemarin saya momotorankeliling Bandung, mencari jalan yang tak tergenang cukup dalam agar bisa pulang.
Jam 10 pagi. Tadinya mau ngerjain TA, tapi saya masih ngantuk, jadi tidur lagi. Tiba-tiba gilang nelpon.
“Han, di mana?” Gilang seperti sedang marah. Atau gurung gusuh.
“kamar, sare. Pusing,”
“Apal teu Eli?”
“Apal, aya naon?”
“Eli ngantunkeun!”
“Innalillahi...nu bener?”
Saya nggak percaya. Suer, saya nggak percaya. Baru minggu kemarin saya ketemu Eli. Saya bangun. Karena nggak percaya, saya nelpon Dian, yang saya tahu teman dekat Eli.
“Yan, bener eli ngantunkeun?””Bener...”
Saya lemes.. bener-bener lemes...
“Nu bener ah..?” Saya masih nggak percaya, karena dian suka ngejailin saya.
“Bener. Saya lagi di rumahnya. Saya lihat mayatnya..”
Kali ini saya benar-benar bangun. Dan dengan terpaksa, percaya.
Innalillahi wa innailaihi roji’un.
...
***
Dari tingkat satu saya kenal sama eli, karena waktu itu saya sekelas sama dia, kelas AC2. Dia teman ngobrol saya, juga teman heureuy. Kalau sedang nunggu praktek biologi atau fisika atau kimia, biasanya kami suka ngobrol, biasanya bareng Aji juga. Selama dua semester kami sekelas, selama tingkat satu. Semester selanjutnya saya jarang sekelas lagi sama dia. Paling di beberapa matakuliah.
Tapi bukan berarti kami jadi nggak akrab. Ia salah satu teman terbaik saya, yang masih suka bersay hello kalau bertemu. Juga kadang suka smsan. Atau kalau lagi jail, saya suka miscall dia. Ia memang supel, gampang gaul, dan nggak gampang lupa, atau pura-pura lupa sama temannya.
Kadang kami juga suka satu bis kalau pulang. Terutama waktu saya masih belum pake motor ke kampus. Biasanya ia suka turun di daerah jalan sudirman atau ciateul, sementara saya biasanya turun di tegallega.
Kalau dipikir, saya merasa dosa sama eli, karena pernah ngejailin eli sampai hampir sebulan lamanya. Waktu itu saya beli kartu 3, karena ingin smsan gratis. Eli adalah orang yang pertama pake kartu 3 di anak-anak matematika 2003. waktu itu saya mengaku-ngaku sebagai otix sama eli. Dan eli percaya aja ke saya. Beberapa minggu saya mengaku menjadi otix, dan eli nggak sadar yang ia sms bukan otix, tapi saya. Bahkan, beberapa bulan terakhir, walaupun dia sudah tahu nomor 3 itu punya saya, dia masih suka panggil saya otix. Jadi malu...dosa...
Maafkan saya, teman.
Selamat jalan.
Innalillahi wa innailaihi roji’un.

Awal Musim Hujan, 2 Tewas
Seorang Mahasiswa UPI Tewas Terseret Banjir

3 komentar:

Anonim mengatakan...

,,,mhh,..
beberapa hari yg lalu ketika di puncak abis naik gunung sama temen2 gue,.. gue iseng nunggu temen gue belanja makanan di cisarua.

di mobil temen gue itu ada koran dari bandung.

iseng2 gue baca. awal nya gue gak perhatiin ttg judul di pojok koran ttg seorang mahasiswi meninggal..

tapi ketika gue baca lagi,...gue kaget.

mahasiswi itu bernama eli.

eli??. seakan gue gak percaya. tapi dari data2 tg dia emang bener.
besok nya gue cari di internet tg eli via FS nya. tapi gak ada tanda.

bagi gue eli adalah suatu teman maya yg dia sering curhat sama gw.

dia saring cerita ttg apa aja yg orang lain gak tau mungkin.


gue bagai gak percaya. dan gue bagai orang yg bingung...

benar kan eli itu?


plees... kalau bener tolong cek di fs ini benar kah dia?

http://profiles.friendster.com/9087396


sebelum nya thanks....

gw dah cari kemana2 mungkin ini bisa mengurangi penasaran gue...


kalau benar ples email ke fs gue di boele_potan@yahoo.com

h.a.h.n mengatakan...

iya, bener, eli yang itu, mahasiswa upi, jurusan matematika. saya juga sempet ga percaya, sebab beberapa hari sebelumnya masih ketemuan di kampus..

Bima Putra Ahdiat mengatakan...

Walau teu kenal, urang merinding ningali fotona. Waas.