10 Desember 2007

Dunia itu datar, dan milik Kamu --saya--

Apa yang kita ingat kalau membaca sejarah awal kemerdekaan? Paling kita ingat Soekarno, Hatta, dan kawan-kawannya yang dikategorikan pahlawan. Tapi kita mungkin tak tahu bagaimana keadaan pak x, yang seorang petani misalnya, atau ibu Y yang jualan di pasar. Mereka tak masuk sejarah, karena dinilai tidak terlalu penting untuk masuk sejarah.

Dulu sejarah milik orang-orang terkenal, bukan milik orang-orang biasa, manusia biasa. Contohnya pak X dan Bu Y di atas, yang mungkin sebetulnya punya peranan penting, minimal bagi keluarganya.

Jadi kalau kita ingin masuk ke dalam sejarah, tertulis dalam sejarah, maka kita harus terkenal dulu. Terkenal seperti Soekarno, Soeharto, atau minimal binatang pilem.

Tapi itu dulu, jaman kamari. Jaman kiwari, hal itu nggak berlaku lagi. Orang biasa -seperti saya- bisa masuk ke dalam sejarah. Tak perlu menjadi orang terkenal dulu. Karena, sekarang sejarah milik orang-orang biasa.

Tak percaya? Tengoklah keadaan dunia maya sekarang. Banyak orang di dunia maya yang terkenal, bahkan sampai ke seluruh dunia. Padahal, di dunia nyata mereka hanya orang biasa-biasa saja. Maka tak heran majalah Time pada akhir tahun 2006 kemarin menobatkan orang-orang biasa sebagai orang yang paling berpengaruh. Padahal, biasanya yang masuk menjadi orang-orang yang berpengaruh adalah orang-orang yang terkenal, misalnya pemimpin dunia, atau para pengusaha, atau penguasa.

Contohnya seorang pemuda dari pakistan (maaf saya lupa lagi namanya). Di dunia nyata, dia adalah pemuda pemalu dan juga pendiam. Tapi di dunia nyata, dia sangat terkenal. Dia yang hobi fotografi sering mengundah (upload) foto-foto tentang keindahan panorama Pakistan di flickr. Ternyata foto-foto yang dihasilkannya sangat digemari para petualang di dunia maya.

Contoh lain adalah dua pemuda dari amerika (saya juga lupa nama mereka). Kedua orang itu ingin menjadi pelawak di tv. Namun nggak ada stasiun tv yang mau menyiarkan lawakan-lawakan mereka. Tapi mereka nggak putus asa. Kedua orang itu lalu melirik YouTube sebagai sarana menayangkan lawakan mereka. Ternyata banyak juga yang menggemari lawakan mereka di internet. Maka terkenallah dia. Sekarang mereka mendirikan situs www.mosh.com.

Semua Orang Bisa Jadi Wartawan
Selama ini informasi didominasi oleh media mainstream, dengan ujungtombaknya adalah para kuli jurnalis, wartawan. Namun di jaman kiwari, orang biasa pun bisa jadi wartawan, dengan cara menjadi blogger.

Contohnya pada saat terjadi peristiwa unjukrasa di Myanmar oleh para biksu, yang akhirnya rusuh, banyak wartawan luarnegeri yang nggak bisa masuk ke Myanmar. Akibatnya tidak ada informasi yang keluar tentang situasi di Myanmar. Tapi ada beberapa blogger yang berinisiatif menuliskan kejadian di Myanmar di blog mereka. Akhirnya, blog itu menjadi salah satu sumber rujukan para wartawan, termasuk dari Indonesia. Bahkan kantor berita besar pun menggantungkan informasinya pada blog-blog semacam itu, yang notabene ditulis oleh orang biasa, bukan wartawan tulen.

Begitu dahsyatnya peran blogger, sampai-sampai di Amerika ada blogger yang mendapatkan kartu pers untuk meliput di DPR nya Amerika. Bahkan katanya, saat konferensi pers presiden Amerika, si Bush, selain mengundang wartawan, om bush juga mengundang beberapa blogger.

Lonceng Kematian LPTK, eh Koran?
Kalau semua orang bisa menjadi wartawan, lalu bagaimana nasib para wartawan? Bagaimana nasib koran, dan media cetak? Apalagi majalah, yang periodisasi terbitnya lebih lama dari koran? Apakah internet menjadi ancaman bagi media cetak?

Dengan adanya internet, informasi yang kita butuhkan tersedia dengan sangat cepat. Kita tidak harus menunggu sehari untuk mendapatkan berita terbaru. Selain cepat, juga lengkap. Kadang mendalam juga. Jadi kalau kita misalkan baca koran keesokan harinya, berita itu kita anggap sudah tidak update lagi, karena toh kita sudah baca, juga lebih lengkap karena tidak berasal dari satu koran.

Jadi, bakal matikah koran? Ternyata tidak juga, karena toh semua ada pasarnya. Misalnya koran jepang, Asahi Shinbun (Maaf kalau salah nulis nama korannya). Tirasnya 12 juta eksemplar setiap harinya. Namun semakin hari tirasnya terus menurun. Untuk mengatasi maslah penurunan tiras itu, pihak manajemen membuat bermacam format koran. Selain edisi cetak, ada juga edisi online dan mobile, untuk di hp. Koran edisi cetak banyak dibaca oleh orang-orang tua, sementara format yang lain kebanyakan kaum muda. Jadi semua ada pasarnya tersendiri.

Selain itu sekarang pihak media mainstream mulai menggandeng orang-orang biasa -ibu rumah tangga, siswa sma, atau karyawan biasa - untuk berkontribusi daam medianya. Istilahnya citizen journalism mungkin. Contohnya Strait Times Singapura meluncurkan situs www.stom.com.sg. Konten berita di sana seluruhnya berasal dari sumbangan masyarakat Singapura, bukan dari wartawan Strait Times. Isinyapun kadang nampak sepele,seperti siswa yang ketangkap basah merokok, yang mungkin saja nggak akan pernah dimuat di media mainstream.

Di Indonesia, koran kompas membuat kompasCommunity. Di sini, kita bisa menyumbangkan informasi. Walaupun sampai saat ini kebanyakan masih banyak tulisan yang isinya curhat-curhatan saja, katanya.

Jadi, intinya, internet dan juga blogger bukan dianggap ancaman oleh media mainstream, tapi jadi peluang.

*oleholeh talkshow jurnalisme online

1 komentar:

Lida Handayani mengatakan...

The world is not that flat, Han.
Gimana dengan penduduk dunia yang masih berkutat dengan masalah kekurangan air?
Gimana juga dengan genosida di Darfur?
Boro-boro flat. Yang ada, mereka hidup sendirian. Seperti dalam tabung kaca. Kita melihat, menonton, tetapi mereka tetap sendiri.ucpu