31 Desember 2007

Debat sang ateis dan teis

0 komentar
Alkisah di negara antah berantah ada seorang ateis, yang tak percaya adanya tuhan. Menurutnya tuhan itu hanya khayalan belaka. Itu semua tidak ada buktinya. Singkat kata dia tak percaya sama tuhan. Suatu hari dia menantang debat dengan seorang teis, yang sering disebut ulama. Dia menantang sang ulama untuk berdebat seputar ada tidak adanya tuhan. Ulama itupun setuju, lalu disepakatilah waktu dan tempat untuk debat itu.

Di hari yang ditentukan, sang ateis sudah siap di depan mimbar. Kebetulan dia datang lebih awal. Hadirin juga sudah mulai memenuhi ruangan. Ruangan itu ternyata hampir dipenuhi oleh masyarakat yang penasaran dengan debat itu. Namun ternyata ulama belum datang.

Setengah jam berlalu, namun si ulama belum datang juga. Para hadirin sudah mulai bertanya-tanya, dimanakah gerangan kau, ulama? Sementara sang ateis tampak senyum-senyum saja.

Satu jam telah berlalu, namun ulama itu belum datang juga. Hadirin sudah lebih dari gerah. Mereka bertanya-tanya, mungkinkah ulama itu, yang mereka hormati dan segani, takut melawan si ateis? Atau memang karena dia tak punya nyali? Di depan, sang ateis tampak berbahagia sekarang. Walaupun sama kesal, tapi ia senang, ternyata ulama itu tak datang jua.

Akhirnya setelah menunggu lama, ulama itu datang juga. Di wajahnya tak tampak sedikitpun rasa dosa, minimal menyesal. Tampak wajahnya sedikit tersenyum. Tentu saja sebagian hadirin ada yang kecewa, karena ulama itu datang (sangat) terlambat.

Ulama itu lalu naik ke atas panggung, berhadapan dengan sang ateis, yang sekarang sedikit tegang. sanga ateis lalu bertanya, kenapa ia bisa sampai terlambat lebih dari 2 jam.
Dengan tenang, ulama itu menjawab,

"Tadi sebenarnya saya berangkat pagi dari rumah. Namun waktu mau menyebrangi sungai yang sangat lebar di sana, tidak ada satupun perahu atau rakit di sana. Akhirnya saya tunggu agar pohon-pohon yang tumbuh besar di pinggir sungai itu berjatuhan dan menyusun sendiri menjadi rakit, agar saya bisa sebrangi sungai itu. Namun ditunggu sampai 1 jam lebih ternyata pohon itu nggak jatuh juga. Apalagi jadi rakit. Akhirnya saya sendiri yang menebang pohon itu dan membuat rakit seadanya agar bisa nyebrang."

"Wah cerita omong kosong dari mana itu? Masa ada pohon jatuh sendiri? Jadi rakit lagi? Nggak mungkin ah! Bohong, tipu! Masa ustad ngarang cerita?" ungkap sang ateis dengan nada emosi.

Sebagian hadirin juga bertanya-tanya, kenapa ulama yang biasanya memberikan ceramah bisa-bisanya ngarang cerita aneh dan tak masuk akal?

Namun ulama itu dengan tenang menjawab, "Ya cerita itu memang fiksi. Memang tidak mungkin pohon-pohon itu berjatuhan dan menyusun dirinya sendiri menjadi rakit. Begitu juga alam ini, manusia ini, nggak mungkin berjalan sendiri. Pasti ada penciptanya."

Cerita selanjutnya .... (maap, saya ketiduran :P)

*ini cerita penceramah waktu jumatan di DT yang saya sedikit modifikasi ceritanya. Maaf kalau nggak nyambung atau apapun. Juga maaf kalau nggak tamat, maklum godaan jumatan memang sangat besar, terutama untuk tidur
:D

Menulis atau ...

0 komentar
Ternyata menulis menggunakan bahasa ibu(sunda) lebih susah dibanding pake bahasa indonesia. Padahal saya sehari-hari ngomong pake bahasa sunda. Bahkan ngelamun pun pake bahasa sunda, ga bahasa indonesia (komo bahasa inggehis :P). Tapi ketika ada suatu ide dan hendak ditulis, kosakata yang muncul sangat sedikit. Beberapa kali saya salah ketik, salah ucap, salah tulis. Walaupun di benak nulis bahasa sunda, di keyboard yang diketik malah bahasa indonesia.

Mungkin saya terlalu hati-hati dalam menulis dalam basa sunda. Takut salah, nulis pake bahasa kasar, atau bahasa lemes, bukan bahasa loma (walaupun saya udah ga tau lagi batas-batas antara basa kasar-loma-lemes-bahkan basa dusun hehe).

Jadi mikir, saya aja yang biasa ngomong basa sunda susah nulis basa sunda, apalagi orang lain yang udah biasa ngomong bahasa indonesia? Tapi mending Husnudzan saja, mungkin hanya saya aja yang ga bisa nulis, atau belum biasa nulis, sedemikian sehingga susah menuliskannya.

Gegerkalong Kabanjiran

0 komentar
Kamari adi kuring di sms ku babaturanana. Eusina ngabejaan yen kosanana kabanjiran! Kasur jeung simbut cenahmah baseuh. Kabeneran kosan eta keur kosong, da para penghunina marudik. Ah dasar anak kampung, mun pekan sunyi teh kalahkah mudik, lain ngapalkeun :D

Balik deui ka banjir, adi kuring tangtu reuwas, banjir ti mana? perasaan euweuh walungan di deukeut kosan etamah. Paling ge solokan leutik. Komo dibejaan kasurna baseuhmah. Akhirna adi kuring jeung pun mamah ka kota, ka kosan. Rencanana kasur nu baseuh rek di bawa ka kampung, diganti ku kasur nu aya di imah. Nu kapapancenan mawa kasur? pasti si kuring, saha deui atuh.

Tapi, kusabab tadi anteng teuing maen gim di bumina pun emang, akhirna kasur nu tadina rek dibawa ka bandung teu kabawa. Maklum gurunggusuh, da tadina rek nyimpang heula ka radio ojet alias OZ, rek mawa hadiah kuis substereo. Ngan edas, geuningan mawa hadiah ge teu bisa, da datangna siang teuing.

Untungna pas kuring ka kosan adi, kasurteh cenah teu kudu dibawa, da teu baseuh teuing cenah. Babaturanana hideng pangmoekeun eta kasur, jadina pas adi kuring kadinya, kasurna geus rada tuus. Ngan ari simbutmah teu katulungan, kudu diseuseuh heula etamah.

Oh enya, banjir teh geuningan lain ti solokan atawa walungan (da emang teu aya walungan hehe), tapi ti keran di cai nu teu ditutupan, nu akhirna caina mudal kamamana.

Tos heula ah.

18 Desember 2007

Kekerasan masih terjadi pada Jurnalis

0 komentar
Ternyata aksi kekerasan masih menghantui para jurnalis, termasuk jurnalis kampus. Kejadian terbaru menimpa kawan-kawan dari  LPM-SiGMA. Gara-gara sebuah kalimat dalam opini yang ditulis Tohir, mereka mendapat perlakuan yang tidak seharusnya diperlihatkan oleh mahasiswa.

Menurut saya kejadiannya cukup sepele, gara-gara rokok. Tapi sepertinya orang-orang kita belum bisa menerima kritik, malah menganggap itu suatu penghinaan.

argh,,...

kejadian sebenarnya bisa di baca di sini

tes dari email

0 komentar
ini tes dari email.

--
logic-simple-more fun
level on linux: pra-newbie
http://hahn.wfu.upi.edu --- http://matcherapy.blogspot.com
-------- http://isola-pos.upi.edu ----------

17 Desember 2007

nulis

1 komentar
tapi euweuh ide.
pusing.
arghghghghghgh.


+ : kamu pusing?
- : iyah..
+ : sama

14 Desember 2007

Tes posting

1 komentar
Tes ngeblog lewat hp.tes 123 hehe

kisah indayati, kisah korban traffiking

0 komentar
Malang benar nasib indayati. Setiap hari dia disiksa sama petruk, suaminya. Terakhir, tangan suaminya mendarat keras di wajahnya. Karena nggak kuat disiksa terus, ia beranikan diri kabur dari rumah, dengan membawa anak semata wayangnya, Eka.

Tapi ia bingung, ia nggak bawa uang sepeserpun. mau ke rumah orang tuanya, itu nggak mungkin. Mau kembali lagi? ia tak berani. Akhirnya ia pergi ke rumah adik ibunya, di Semarang.
Untung bagi Indayati, karena kalaulah ia terlambat sehari, pamannya sudah nggak ada, karena pindah ke Manado, karena ia bekerja di perusahaan tambang Amerika, New Monkey (Newmount?). Tanpa disangka ia ditawari ikut ke sana. Dan pergilah ia.

Singkat cerita tinggalah mereka di Manado. Sewaktu habis mengantarkan sepupunya sekolah, ia iseng melihat kerumunan orang. Katanya sih ada audisi film, yang bakal syuting di Bangkok. Tapi Indayati bukan tipe ibu-ibu jaman sekarang yang mengidolakan anaknya -atau bahkan dirinya- menjadi artis, jadi ia nggak tertarik ikutan audisi itu. namun sang Kiky dan Bunda, yang sedang mencari calon artis itu tertarik pada Indayati. Kata Bunda, seorang wadam alias waria alias wanita tanpa vagina, Indayati memiliki wajah asli nusantara, yang ia sebut Waca Waka, wanita cantik wajah kampung.

Walaupun ia menolak, tapi sepupunya sangat antusias. Ia ingin jadi artis terkenal. Begitu juga dengan Buk lik, yang kepengen anaknya terkenal. Maka walaupun sang ayah nggak mengijinkan, dia, sepupu Indayati, nekad pergi ke Bangkok.

Indayati, yang merasa bersalah, berniat membawa pulang sepupunya itu. Namun nahas, ia malah dipaksa ikut ke Bangkok. Dan, jadilah mereka korban traffiking, manusia yang tidak diakui kemanusiaannya...
....

Itulah sepenggal ringkasan kisah Indayati, novel terbaru Remy Silado (yang baru saya baca) yang berjudul Mimi lan Mintuna. Ia, Indayati dan sepupunya merupakan contoh wanita korban traffiking, yang berkedok audisi bin[a]tang film.

Di novel ini kita bisa lihat bagaimana penderitaan mereka, korban traffiking. Mereka hanya dinilai sebagai barang (Sean PV dkk menyebut mereka 'stok'), tak lebih. Manusia yang diperjualbelikan, tanpa mendapatkan uang sepeserpun dari hasil penjualannya itu (katanya sih untuk biaya paspor, administrasi dll).

Cerita selanjutnya? Baca saja sendiri ah..

Oh iya, baru kali ini saya bisa baca buku dan langsung tamat. Memang sih, bukunya tidak setebal buku Klakulkus 1 karangan Purcell, hanya setebal buku analisis real karangannya Bartle (yang aslinya, bukan yang versi dunia baru). Tapi lumayan, ternyata saya masih bisa tahan baca buku lebih dari 2 jam. alhamdulillah...

13 Desember 2007

Matematika UPI Punya Hajatan

0 komentar
Sabtu kemarin jurusan Pendidkan matematika UPI mengadakan seminar nasional Matematika, dengan tema "Permasalahan Matematika dan Pendidikan Matematika Terkini". tempatnya diadakan di Auditorium FPMIPA UPI. Pesertanya? Banyak sekali. Hampir 700 orang. Padahal kapasitas Auditorium hanya 300 orang. Akhirnya panitia sangat sibuk sekali.
Foto diambil dari flickr milik pak Yudi.

Cerita selanjutnya tentang seminar, nanti menyusul, nunggu komputer sayah sembuh.. T_T

10 Desember 2007

Dunia itu datar, dan milik Kamu --saya--

1 komentar
Apa yang kita ingat kalau membaca sejarah awal kemerdekaan? Paling kita ingat Soekarno, Hatta, dan kawan-kawannya yang dikategorikan pahlawan. Tapi kita mungkin tak tahu bagaimana keadaan pak x, yang seorang petani misalnya, atau ibu Y yang jualan di pasar. Mereka tak masuk sejarah, karena dinilai tidak terlalu penting untuk masuk sejarah.

Dulu sejarah milik orang-orang terkenal, bukan milik orang-orang biasa, manusia biasa. Contohnya pak X dan Bu Y di atas, yang mungkin sebetulnya punya peranan penting, minimal bagi keluarganya.

Jadi kalau kita ingin masuk ke dalam sejarah, tertulis dalam sejarah, maka kita harus terkenal dulu. Terkenal seperti Soekarno, Soeharto, atau minimal binatang pilem.

Tapi itu dulu, jaman kamari. Jaman kiwari, hal itu nggak berlaku lagi. Orang biasa -seperti saya- bisa masuk ke dalam sejarah. Tak perlu menjadi orang terkenal dulu. Karena, sekarang sejarah milik orang-orang biasa.

Tak percaya? Tengoklah keadaan dunia maya sekarang. Banyak orang di dunia maya yang terkenal, bahkan sampai ke seluruh dunia. Padahal, di dunia nyata mereka hanya orang biasa-biasa saja. Maka tak heran majalah Time pada akhir tahun 2006 kemarin menobatkan orang-orang biasa sebagai orang yang paling berpengaruh. Padahal, biasanya yang masuk menjadi orang-orang yang berpengaruh adalah orang-orang yang terkenal, misalnya pemimpin dunia, atau para pengusaha, atau penguasa.

Contohnya seorang pemuda dari pakistan (maaf saya lupa lagi namanya). Di dunia nyata, dia adalah pemuda pemalu dan juga pendiam. Tapi di dunia nyata, dia sangat terkenal. Dia yang hobi fotografi sering mengundah (upload) foto-foto tentang keindahan panorama Pakistan di flickr. Ternyata foto-foto yang dihasilkannya sangat digemari para petualang di dunia maya.

Contoh lain adalah dua pemuda dari amerika (saya juga lupa nama mereka). Kedua orang itu ingin menjadi pelawak di tv. Namun nggak ada stasiun tv yang mau menyiarkan lawakan-lawakan mereka. Tapi mereka nggak putus asa. Kedua orang itu lalu melirik YouTube sebagai sarana menayangkan lawakan mereka. Ternyata banyak juga yang menggemari lawakan mereka di internet. Maka terkenallah dia. Sekarang mereka mendirikan situs www.mosh.com.

Semua Orang Bisa Jadi Wartawan
Selama ini informasi didominasi oleh media mainstream, dengan ujungtombaknya adalah para kuli jurnalis, wartawan. Namun di jaman kiwari, orang biasa pun bisa jadi wartawan, dengan cara menjadi blogger.

Contohnya pada saat terjadi peristiwa unjukrasa di Myanmar oleh para biksu, yang akhirnya rusuh, banyak wartawan luarnegeri yang nggak bisa masuk ke Myanmar. Akibatnya tidak ada informasi yang keluar tentang situasi di Myanmar. Tapi ada beberapa blogger yang berinisiatif menuliskan kejadian di Myanmar di blog mereka. Akhirnya, blog itu menjadi salah satu sumber rujukan para wartawan, termasuk dari Indonesia. Bahkan kantor berita besar pun menggantungkan informasinya pada blog-blog semacam itu, yang notabene ditulis oleh orang biasa, bukan wartawan tulen.

Begitu dahsyatnya peran blogger, sampai-sampai di Amerika ada blogger yang mendapatkan kartu pers untuk meliput di DPR nya Amerika. Bahkan katanya, saat konferensi pers presiden Amerika, si Bush, selain mengundang wartawan, om bush juga mengundang beberapa blogger.

Lonceng Kematian LPTK, eh Koran?
Kalau semua orang bisa menjadi wartawan, lalu bagaimana nasib para wartawan? Bagaimana nasib koran, dan media cetak? Apalagi majalah, yang periodisasi terbitnya lebih lama dari koran? Apakah internet menjadi ancaman bagi media cetak?

Dengan adanya internet, informasi yang kita butuhkan tersedia dengan sangat cepat. Kita tidak harus menunggu sehari untuk mendapatkan berita terbaru. Selain cepat, juga lengkap. Kadang mendalam juga. Jadi kalau kita misalkan baca koran keesokan harinya, berita itu kita anggap sudah tidak update lagi, karena toh kita sudah baca, juga lebih lengkap karena tidak berasal dari satu koran.

Jadi, bakal matikah koran? Ternyata tidak juga, karena toh semua ada pasarnya. Misalnya koran jepang, Asahi Shinbun (Maaf kalau salah nulis nama korannya). Tirasnya 12 juta eksemplar setiap harinya. Namun semakin hari tirasnya terus menurun. Untuk mengatasi maslah penurunan tiras itu, pihak manajemen membuat bermacam format koran. Selain edisi cetak, ada juga edisi online dan mobile, untuk di hp. Koran edisi cetak banyak dibaca oleh orang-orang tua, sementara format yang lain kebanyakan kaum muda. Jadi semua ada pasarnya tersendiri.

Selain itu sekarang pihak media mainstream mulai menggandeng orang-orang biasa -ibu rumah tangga, siswa sma, atau karyawan biasa - untuk berkontribusi daam medianya. Istilahnya citizen journalism mungkin. Contohnya Strait Times Singapura meluncurkan situs www.stom.com.sg. Konten berita di sana seluruhnya berasal dari sumbangan masyarakat Singapura, bukan dari wartawan Strait Times. Isinyapun kadang nampak sepele,seperti siswa yang ketangkap basah merokok, yang mungkin saja nggak akan pernah dimuat di media mainstream.

Di Indonesia, koran kompas membuat kompasCommunity. Di sini, kita bisa menyumbangkan informasi. Walaupun sampai saat ini kebanyakan masih banyak tulisan yang isinya curhat-curhatan saja, katanya.

Jadi, intinya, internet dan juga blogger bukan dianggap ancaman oleh media mainstream, tapi jadi peluang.

*oleholeh talkshow jurnalisme online

Jalur offroad di Cibaduyut

1 komentar
Tak banyak yang tahu bahwa sekarang ada jalur offroad atau motocross di daerah Cibaduyut. Padahal jalur itu sudah lumayan lama ada, hampir setahun terakhir. Jalur itu tepatnya berada di daerah Rancamanyar, pokoknya daerah perumahan Rancamanyar.

Cuma sayangnya jalur itu nggak berada di sirkuit khusus. Jalur itu adanya di jalan umum, jalan yang biasa dipakai orang berlalu lintas dari Pameungpeuk Banjaran ke kota Bandung.

Dan memang sebenarnya itu bukan jalur resmi motocross. Tapi mirip. Bahkan mungkin lebih menantang daripada jalur asli yang sengaja dibuat.

Jalan di daerah Rancamanayar itu memang sangat berlubang. Bahkan sebagian diantaranya sudah nggak ada aspalnya. Hanya batu-batu saja. Mending kalau batunya kecil-kecil. Ini mah besar-besar. Kata orangmah jalan teh meni borok.

Kalau lagi musim halodo, jalanan jadi berdebu. Kalau hujan, lebih parah. Selain becek (karena berlumpur), sebagian badan jalan juga jadi tergenang air, karena banyaknya kolam di tengah jalan. Kolam itu sepertinya bisa dipakai beternak lauk, tinggal dikasih bibit lauk saja. halah.

Saya sudah senang ketika jalur pertigaan Cibaduyut dibeton. Suganteh pembetonan itu bakal diteruskan sampai daerah rancamanyar. Tapi ternyata tidak. Akhirnya, sampai sekarang jalanan masih borok, jerawatan, berlubang, dan berdebu.

Pa Obar, geus we jalur etamah tong dibenerkeun deui. Sakalian jadikeun jalur offroad enyaan we, Bar! Kagok ruksak lah. Da mun angger teu dibenerkeunmah, kalahkah ngarusak motor urang.

Dufan Im koming

0 komentar
Kuliah empat tahun itu capek, melelahkan. Apalagi dengan kenyataan bahwa diri si urang masih nggak lulus-lulus juga. Padahal yang lain sudah pada lulus, dan sekarang sudah resmi menjadi pengangguran. (Aneh, padahal baru kuliah empat tahun, kok sudah dianggap sudah lama? hahaha)

Karena itu ketika ada yang mengusulkan untuk main ke Dufan, hampir semua yang ikut buka bersama setuju. Kebetulan Irma, teman saya, punya link di perusahaan travel (atau kerja di sna? sepertinya ia). Hanya saja, ke dufan itu nggak murah, tidak seperti ke taman firdaus atau Dago pakar. Apalagi mahasiswa miskin seperti saya, yang sangat mengandalkan belas kasihan orangtua.

Dari hasil rapat, disepakati pergi ke dufan setelah lebaran. Alasannya, berharap lebaran ada yang ngasih amplop hehe. Tepatnya, tanggal 7 November kami berangkat.

Namun beberapa hari menjelang hari H belum ada kepastian jadi atau tidaknya berangkat ke Dufan. Apalagi yang sudah membayar belum juga memenuhi target, yaitu minimal 25 orang. Bahkan beberapa orang sudah menyatakan mengundurkan diri, dengan alasan belum ada uang.

Akhirnya pada H-1 sudah ada kepastian bahwa ke Dufan tidak jadi dibatalkan, artinya walaupun yang ikut tidak memenuhi kuorum (halah kayak sidang aja), kami tetap bisa berangkat, karena Irma mengajak keluarganya untuk menutupi kekurangan peserta itu.

Kami berangkat sekitar jam tujuh pagi dari depan gedung FPMIPA, menggunakan bus yang kecil. Yang berangkat kebanyakan perempuan. Laki-laki hanya empat orang saja. Awalnya sedih dan kecewa, karena tidak semua orang ikut. Bahkan yang berangkat kurang dari 25 orang. Padahal anak kelas C ada 30an orang.

Kami sampai di Dufan sekitar jam 11 siang. Kebetulan Dufan baru buka. Sebelum masuk, kami sempat foto-foto bareng di depan gerbang masuk. Seelah itu suami Irma membagikan karcis pada kami.


Wahana pertama yang saya coba adalah kicir-kicir. Awalnya saya nggak tahu seperti apa kicir-kicir itu, dan seberapa seram. Tapi karena beberapa teman langsung masuk antrian, saya iutan juga. Selagi antri, ternyata kicir-kicir lumayan seram juga. Tapi ah kagok, sudah masuk antrian. Sia-sia kalau mesti keluar lagi. Tapi ada temen saya ada yang nggak jadi naik. Dia kleuar dari antrian.

Dan ternyata benar, kicir-kicir seram juga. Tubuh saya diputar-putar, tak hanya ke kiri-kanan, juga ke atas-bawah. Tapi asyik juga.

Setelah itu kami naik tornado, wahana yang sering diiklankan di TV. Teman saya mengingatkan saya, katanya hati-hati kalau naik tornado, karena waktu libur lebaran banyak yang mengalami kecelakaan. Saya sempat was-was juga, karena kelihatannya wahana tornado sangat menyeramkan. Tapi waktu ngantri, perasaan itu hilang. Hanya penasaran. Bahkan peringatan teman saya lewat sms itu saya lupa.

Waktu naik tornado, perasaan cemas mulai datang lagi. Apalagi sabuk pengaman seperti yang agak longgar. Tapi saya pasrah. Dan benar, waktu berada di atas, waktu posisi badan terbalik, tubuh seperti mau jatuh, karena sabuk yang longgar itu. Apalag waktu tubuh diputar-putar di atas tanah jakarta. HUhh seram juga. Hanya saja tubuh hanya diputar ke atas-bawah saja, nggak ke kiri-kanan. Jadi nggak terlalu memusingkan.

Total selama di Dufan kami naik sekitar 10 wahana. Lumayan banyak juga. Cuma ada beberapa wahana yang tidak sempat kami naiki, karena ternyata jam 6 sore Dufan sudah tutup. Bahkan sepi banget. Padahal kalaulah dibuka sampai jam delapan malam, sepertinya mengasyikan.


Kami pulang sekitar jam setengah delapan dari Dufan. Seharusnya jam setengah sepuluhan kami sudah sampai ke Bandung. Tapi ternyata jalan-jalan di Jakarta macetnya parah banget. Akhirnya kami tiba di gerbang UPI jam 12 malam. Perjalanan pulang yang melelahkan, tapi asyik. Nggak sia-sia ternyata keluar uang banyak. Karena toh, kapan lagi kami bisa main bareng-bareng? priceless!! hehe..

08 Desember 2007

Capek deh

3 komentar
Ternyata cape juga ngurus acara dengan peserta 600 orang lebih. Cape deh

04 Desember 2007

Zenwalk Live rilis!!

2 komentar
Nggak mau ketinggalan dengan distro lain, akhirnya zenwalk merilis distro live cd nya. Sebulan sebelumnya, zenwalk juga baru merilis versi terbaru untuk desktop, versi 4.8.

Jadi ingin coba... sayang nggak ada koneksi internet buat nyedotnya.. hixhix...

Zenwalk Live 4.8 Released!

4 in 1

0 komentar
Sekarang di kompie saya ada 4 sistem operasi. Banyak. Tapi kan bagus hehe... Selain Windows XP dan Zenwalk yang sudah lebih dulu diinstall (dan yang dipakai sehari-hari), saya juga coba install Ubuntu. Tapi bukan Ubuntu yang terbaru, karena saya pesimis komputer saya kuat buat Ubuntu 7.10. Saya instal Ubuntu yang versi dulu, 7.04.
Kenapa saya install ubuntu? Karena sekarang banyak teman saya yang penasaran dengan Ubuntu dan menanyaan segala masalah di Ubuntu ke saya. Jadi mau tidak mau saya harus bisa dong menjelaskan tentang Ubuntu. Tapi karena saya nggak ngerti sama Ubuntu, maka terpaksa saya harus install Ubuntu,walaupun sudah pasti berat buat komputer saya yang pas-pasan. Tapi nggak apa-apa lah, demi tersebarnya GNU/Linux hehe..
Tapi di Ubuntu saya nggak bisa dengerin musik. Saya nggak tahu codec apa yang harus saya install, atau download, karena ternyata file yang saya download kemarin buat Ubuntu terbaru. hiks.. jadi sedih.
Satu lagi OS yang saya instal adalah Gentoo. Distro ini saya dapatkan dari DVD Infolinux edisi tahun kemarin, yang saya pinjam dari kang bima. Memang sudah hapeuk mungkin, tapi demi melepaskan kepenasaran saya akan distro ini, saya coba bakar dan instal juga.
Ternyata install Gentoo repot juga, walaupun tidak sulit-sulit amat. Kapasitas 2 GB ternyata nggak cukup buat install Gentoo dengan X nya. Beberapa kali saya gagal install Gentoo karena kapasitasnya habis. Boros juga Gentoo. Padahal Slackware saja yang cd installernya ada 4, bisa diinstall di hardisk yang cuma 2 GB, walau tanpa KDE (dengan instalasi minimal).
Akhirnya saya install Gentoo dengan opsi yang minimalis, hanya menginstal sistemnya saja plus vim, tanpa install program dan Gnome+X. Dengan konfigurasi semacam itu instalasi berhasil juga. pyuh... Tapi jadinya aneh, sebab nggak ada apa-apa di Gentoo. Dan parahnya waktu saya mau coba install aplikasi, saya nggak tahu cara installnya. Juga saya nggak tahu paket-paket aplikasi itu ada di mana. Sebab di cd nya, cuma ada file image, dengan ukuran yang sangat besar.
Ada satu lagi masalah setelah saya instal Gentoo. ternyata distro yang lain tidak kedetek. Yang kedetek hanya windows saja, sementara Ubuntu dan Zenwalk nggak. Pusing juga, karena data-data saya ada di kedua distro itu. Sudah saya coba mengutak-atik grub-nya, dengan menyalin grub punya ubuntu ke Gentoo. Tapi tetap saja nggak bisa. Saya sudah khawatir zenwalk dan Ubuntu nggak akan terbaca lagi. Bukan apa-apa, saya males kalo harus instal 2 distro itu, terutama Ubuntu, karena sangat lama.
Akhirnya saya coba booting dari cd. Awalnya saya pake cd Slackware 11. Tapi tetep, waktu saya coba booting zenwalk, masih nggak bisa. Katanya image kernel nggak ada. terus saya coba pake cd zenwalk. Akhirnya setelah utak-atik configurasi di menu instalasi awal, saya bisa juga masuk ke bash-nya zenwalk.
Saya mount partisi zenwalk, dan buat link lilo.conf ke etc milik sistem. Setelah beberapa kali salah saya bisa juga konfigurasi ulang lilo-nya. huh....