29 November 2007

Tempat Sedot Linux (bukan Lemak)

1 komentar
Selama ini saya kalau download linux biasanya di situs-situs luar, seperti linuxpackages atau sourceforge. Dan sudah pasti lama. Apalagi kalau kebetulan koneksi warnetnya lagi kacau, wasalam.

Ternyata banyak juga server lokal yang menyediakan software-software lokal. Salah satunya di situs kambing milik UI. Situs ini lumayan lengkap, apalagi untuk distro Ubuntu. Tapi sayang, di sini nggak ada zenwalk terbaru, yang sekarang sudah sampai versi 4.8. Padahal di rumah saya pake distro ini.

Untung ada yang ngasih tahu bahwa ada juga server di Indonesia yang menyediakan linux dan sebangsanya, yaitu di FOSS-ID. Dan ternyata di sini ada zenwalk! Bahkan lengkap, sangat lengkap malah.

Kalau mau langsung sedot, ke sini saja.

26 November 2007

Tuhan sembilan senti

2 komentar
tuhan Sembilan Senti

Oleh Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok, di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok, bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok, di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu'ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i. Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.

Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku' dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

==============================

dari sini

Nggak aktif

0 komentar
sudah lama blog di wfu nggak aktif. Kenapa dengan blog UPI? Apakah memang layanan itu ditutup? atau sedang diperbaiki?
padahal saya ingin isi blog di sana lagi. hixhixhix

15 November 2007

Selamat Jalan, Teman

3 komentar
Bandung, 29 oktober 2007. Sore itu Bandung diguyur hujan sangat lebat, dan lama. Sebagian jalan tergenang air cileuncang yang tak tertampung solokan yang memang kecil dan mampet oleh sampah.
Juga sungai-sungai, yang meluap sampai batas jalan. Bandung kebanjiran lagi. Padahal hujan belum terlalu lama turun di Bandung.
Tapi hujan sore itu memang terasa sangat besar. Saya sampai harus cari jalan yang benar-benar tidak tergenang. Tapi tetap saja saya sempat disergap cileuncang. Yang pertama di daerah stasiun. Di sana sebagian jalan sudah tergenang. Untung motor saya masih mampu menembus genangan itu tanpa banyak masalah. Yang kedua di perempatan jalan Astanaanyar dan Ciateul (saya lupa lagi nama jalannya). Air di tengah jalan sangat deras. Biasanya di perempatan itu saya belok ke jalan otista, menuju Tegallega. Tapi sore itu tidak, karena saya mau ke Leuwi Panjang, mau jemput teteh yang baru pulang dari Bogor.
Ternyata saya salah pilih jalan. saya pilih lewat Jalan kopo untuk sampai ke Leuwi Panjang. Pperempatan jalan Peta ternyata tergenang cukup dalam. Penduduk di sekitar sana menyuruh saya balik lagi. Katanya jalan itu sudah nggak bisa lagi dilalui kendaraan, apalagi motor. Bisa-bisa motor saya bisa mogok kalau keukeuh mau lewat sana. Akhirnya saya lewat jalan kecil, jalan Nyengseret, yang tembus ke Tegallega. Tapi sama saja, karena jalan Astanaanyar juga ternyata digenangi cileuncang, walau tak sedalam di perempatan kopo-Peta.
Akhirnya saya bisa sampai juga ke Leuwi Panjang. Di sini sama saja. Karena perempatan Jalan Soekarno Hatta juga terendam banjir cukup dalam. Sampai-sampai saya harus dorong motor saya karena takut motor saya mogok di sana. Untung saja hanya bagian pinggir saja yang tergenang cukup dalam, di bagian tengah ternyata nggak terlalu dalam. Akhirnya saya dan teteh bisa pulang, walau jalannya harus lewat Buahbatu, karena jalan Palasari-Dayeuh kolot sudah pasti tenggelam.
****
Malam itu dia hendak pulang. Dia baru memberikan les bagi muridnya di daerah Kopo. Walaupun hujan turun deras, dia tetap ingin pulang. Di jalan Kopo ia hendak naik angkot bersama calon suaminya. Tapi ini hujan sangat deras, sehingga air solokan meluber sampai ke badan jalan. Akibatnya tak ada angkot yang lewat ke sana. Karena ingin segera sampai rumah, ia jalan di atas trotoar yang banyak lubangnya bersama pacarnya, sambil berharap ada angkot yang lewat. Pada siang hari, gorong-gorong di daerah sana sedang diperbaiki, namun belum selesai, akibatnya, beberapa trotoar masih berlubang.
Karena kurang hati-hati, perempuan itu terpeleset dan jatuh ke lubang gorong-gorong. Lama ia terjebak di gorong-gorong itu. Pacarnya dan beberapa warga di sekitar berusaha mengeluarkan perempuan itu dari gorong-gorong yang airnya sangat deras. Namun beton penutup gorong-gorong itu sangat sulit di buka. “Nggak ada peralatan yang memadai,” kata saudaranya. Akhirnya dengan susah payah tubuh perempuan itu berhasil juga diangkat. Tapi ia pingsan dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Maka dengan menumpang sepeda motor yang kebetulan lewat, segera saja perempuan itu dibawa ke rumah sakit Immanuel, yang letaknya tak jauh dari sana.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Malam itu, di rumah sakit, dia menghembuskan nafas terakhir. “Air yang masuk ke tubuhnya terlalu banyak, dan kotor,” kata saudaranya. Jalanan yang macet dan banjir juga dituding menjadi salah satu biang penyebab nyawanya tak tertolong.
Kalau saja jalanan tidak macet dan banjir...
Kalau saja ia tak terlambat masuk rumah sakit....
Kalau saja ia tak terpeleset di trotoar..
Kalau saja trotoar itu sudah selesai diperbaiki sebelum hujan turun...
Kalau saja...
...

****
Selasa, 30 Oktober. Hari itu saya nggak pergi ke kampus. Pusing. Juga pegel. Maklum, malam kemarin saya momotorankeliling Bandung, mencari jalan yang tak tergenang cukup dalam agar bisa pulang.
Jam 10 pagi. Tadinya mau ngerjain TA, tapi saya masih ngantuk, jadi tidur lagi. Tiba-tiba gilang nelpon.
“Han, di mana?” Gilang seperti sedang marah. Atau gurung gusuh.
“kamar, sare. Pusing,”
“Apal teu Eli?”
“Apal, aya naon?”
“Eli ngantunkeun!”
“Innalillahi...nu bener?”
Saya nggak percaya. Suer, saya nggak percaya. Baru minggu kemarin saya ketemu Eli. Saya bangun. Karena nggak percaya, saya nelpon Dian, yang saya tahu teman dekat Eli.
“Yan, bener eli ngantunkeun?””Bener...”
Saya lemes.. bener-bener lemes...
“Nu bener ah..?” Saya masih nggak percaya, karena dian suka ngejailin saya.
“Bener. Saya lagi di rumahnya. Saya lihat mayatnya..”
Kali ini saya benar-benar bangun. Dan dengan terpaksa, percaya.
Innalillahi wa innailaihi roji’un.
...
***
Dari tingkat satu saya kenal sama eli, karena waktu itu saya sekelas sama dia, kelas AC2. Dia teman ngobrol saya, juga teman heureuy. Kalau sedang nunggu praktek biologi atau fisika atau kimia, biasanya kami suka ngobrol, biasanya bareng Aji juga. Selama dua semester kami sekelas, selama tingkat satu. Semester selanjutnya saya jarang sekelas lagi sama dia. Paling di beberapa matakuliah.
Tapi bukan berarti kami jadi nggak akrab. Ia salah satu teman terbaik saya, yang masih suka bersay hello kalau bertemu. Juga kadang suka smsan. Atau kalau lagi jail, saya suka miscall dia. Ia memang supel, gampang gaul, dan nggak gampang lupa, atau pura-pura lupa sama temannya.
Kadang kami juga suka satu bis kalau pulang. Terutama waktu saya masih belum pake motor ke kampus. Biasanya ia suka turun di daerah jalan sudirman atau ciateul, sementara saya biasanya turun di tegallega.
Kalau dipikir, saya merasa dosa sama eli, karena pernah ngejailin eli sampai hampir sebulan lamanya. Waktu itu saya beli kartu 3, karena ingin smsan gratis. Eli adalah orang yang pertama pake kartu 3 di anak-anak matematika 2003. waktu itu saya mengaku-ngaku sebagai otix sama eli. Dan eli percaya aja ke saya. Beberapa minggu saya mengaku menjadi otix, dan eli nggak sadar yang ia sms bukan otix, tapi saya. Bahkan, beberapa bulan terakhir, walaupun dia sudah tahu nomor 3 itu punya saya, dia masih suka panggil saya otix. Jadi malu...dosa...
Maafkan saya, teman.
Selamat jalan.
Innalillahi wa innailaihi roji’un.

Awal Musim Hujan, 2 Tewas
Seorang Mahasiswa UPI Tewas Terseret Banjir

uang administrasi, katanya

2 komentar
Minggu kemarin teman saya buat Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) ke Polisi Resort Kota (Polresta) Bandung yang di Sukajadi, dekat Parisj Van Java. Prosesnya lumayan lama, beberapa jam. (Atau cepat ya?). untuk selembar kertas itu, teman saya harus bayar sampai limapuluh ribu. Mmm buat saya yang masih pengangguran, uang segitu lumayan banyak. Gede. Tapi tak ada kuitansi. Waktu saya nanya ke teman saya uang limapuluh ribu itu uang apa, ia nggak tahu, karena petugas polisi yang di sana nggak ngasih tahu itu uang apa.
Beberapa minggu sebelumnya, teman saya itu juga membuat kartu Kuning. Ini bukan kartu kuning yang dikeluarkan wasit sepakbola hehe.. katanya bagi yang mau cari kerja harus buat kartu kuning ke Dinas Tenaga Kerja, yang di jalan Martanegara. Pastinya pegawai di sini, terutama yang mengurus proses pembuatan kartu Kuning, semuanya berstatus Pe eN eS alias pegawai negeri Sipil yang gajinya dibayar dari keringat rakyat. Ternyata untuk membuat kartu kuning juga harus mengeluarkan duit juga, walaupun tak sebesar di kantor polisi.
Teman saya yang lain waktu disuruh membayar uang yang diebut biaya administrasi itu, meminta kuitansinya. Namun di sini juga nggak dikasih kuitansi., malah teman saya itu nggak jadi bayar. Malah disuruh cepat-cepat pergi.
Minggu kemarin, teman-teman saya yang baru diwisuda pada sibuk membuat legalisir fotokopi ijazah. Fotokopi ijazah yang dilegalisir ternyata nggak hanya satu atau dua lembar, tapi rata-rata 20 lembar. Malah ada yang sampai 30 lembar. Oleh petugas fakultas, satu lembar legalisir dikenai biaya seribu rupiah. Jadi, teman-teman saya rata-rata harus bayar 20 ribu agar bisa melegalisir ijazahnya. Waktu ada teman saya yang menanyakan untuk apa uang itu, petugas di sana menjawab karena melegalisir ijazah itu capek, jadi wajar kalau dikenai biaya. Oh... capek yah kerja teh ternyata... kalau ngga mau capek mah jangan kerja pak, nganggur aja.
Aneh. Bener-bener aneh. Kenapa sih di negara ini selalu ada saja biaya atau pungutan? Entah itu biaya administrasi, biaya lelah, atau apapunlah.. padahal sebagian besar dari mereka itu PE EN ES! Mereka digaji dari darah dan keringat rakyat agar bisa bekerja dan melayani rakyat! Kenapa ketika rakyat ada keperluan, entah itu buat SKKB, kartu kuning, merah, hijau, atau pun pink, rakyat disuruh bayar lagi?
Jangan harap sby dan teman-temannya bisa mengentaskan korupsi, kalau pegawai bawahannya saja masih korupsi!
Jadi inget lagu Jeruji
“SAYA CINTA NEGERI INI, TAPI SAYA BENCI SISTEM YANG ADA!”
Kalimat selanjutnya terusin aja ah, cape..

wisuda euy!

0 komentar
Tanggal 24 Oktober kemarin sebagian teman-teman saya sudah diwisuda. Dari kelas C ada 15 orang yang lulus tepat 4 tahun. Hampir setengahnya. Hebat. Total, mahasiswa jurusan matematika yang lulus tahun ini ada 75 orang. Lumayan banyak juga. Sementara total mahasiswa UPI yang diwisuda sekitar 2000 orang. Termasuk yang S2 dan S3. wah jumlah pengangguran meningkat nih hehe...
Yang buat saya bangga, beberapa teman saya lulus dengan predikat cum laude, dengan IPK di atas 3,8. IPK lulusan UPI kemarin paling tinggi 3,89, sementara Isnie, teman saya, 3,84. Untuk ukuran lulusan dari eksak, apalagi dari matematika, saya pikir ini termasuk yang sangat tinggi. Jarang ada orang yang IPK-nya bisa sampai setinggi itu. Juga ada Imam, yang waktu wisuda hari pertama kemarin dipercaya membacakan sambutan dari perwakilan lulusan. IPK-nya kalau tidak salah 3,79. Hebat. Yang lainnya juga pada hebat, karena hampir semua lulusan matematika (yang saya kenal) IPK-nya di atas tiga. Memang ada yang kurang dari 3, tapi hanya beberapa.
Memang, IPK tidak menjamin kesuksesan seseorang, karena ada banyak kecerdasan lain selain kecerdasan akademik. Katanya. Tapi yang pasti, mereka telah menunjukkan prestasi yang luar biasa dalam bidang akademik.
Selamat diwisuda, teman. Selamat menempuh kehidupan baru, sebagai seorang sarjana. Selamat berjuang di dunia nyata.

Kapan giliran saya?